Senin, 22 Juli 2013

Mengenal Lebih Dekat Shadow dalam Diri Anda? (Perspektif Jungian)

To own shadow is to be responsible of (whether or not we like it).”
-Jung, A Very Short Introduction-

Kenapa dunia selalu penuh dengan kejahatan? Kenapa dunia selalu penuh dengan prasangka terhadap orang lain? Seberapa pun banyaknya para pembela kebajikan, kejahatan itu tetap ada. Begitu juga dengan prasangka terhadap kelompok lain yang semakin hari menggrogoti hati manusia dengan insecurity dan hatred.


Manusia memiliki dua sisi didalam dirinya. Yang pertama adalah persona. Persona adalah topeng yang kita pakai sehari-hari, sebagai seorang mahasiswa, sebagai wanita karir, sebagai pengusaha sukses, sebagai pengangguran. Persona adalah topeng yang mengikuti tuntutan sosial, dan topeng sebagaimana kita ingin orang lain melihat kita. Atau dengan kata lain persona adalah social archetype atau conformity archetype. Persona terbentuk sejak masa kecil melalui ekspektasi orang tua, guru, atau teman-teman, dan akhirnya menjadi suatu bentuk ‘tampilan’ akibat proses learning, sedangkan sisanya (tingkah laku yang tidak mendapat penguatan sosial) menjadi tersembunyi atau direpresi dalam ketidaksadaran dan menjadi sisi yang bersebelahan dengan persona. Namun persona, seperti juga asal katanya ‘personne‘ yaitu topeng yang biasa dipakai aktor pada masa Yunani Kuno, bukanlah Diri yang sebenarnya.

Sisi yang bersebelahan dengan persona adalah shadow. Berbeda dengan persona yang terletak pada kesadaran manusia, shadow berada pada alam ketidaksadaran. Shadow bersifat seperti kegelapan yang selalu mengikuti, yang tidak diinginkan, yang terkadang dihiraukan, namun tetap ada. Seperti bayangan yang tidak bisa terlepas dari obyeknya. Shadow yang dihiraukan kemudian muncul dalam bentuk mimpi, terkadang mimpi yang bersifat hostile, penuh kemarahan, dan ketakutan. Di dalam shadow berisi hal-hal yang ingin kita hindarkan, keinginan-keinginan yang bertentangan dengan norma sosial.

Yang paling penting begitu juga paling berbahaya dari shadow adalah archetype of enemy, predator, or evil stranger. Archetype ini muncul sejak tahun pertama manusia hidup, ketika ibu mendekati bayi maka bayi sudah mulai berpikir mengenai attachment, ia merasa nyaman atau sebaliknya merasa takut dan defensif ketika didekati oleh orang yang tidak ia kenali. Mulai dari sinilah seorang bayi, pada spesies apapun, sudah bisa membedakan antara teman atau lawan. Haruskah penerimaan atau penolakan untuk melindungi dirinya. Ini adalah shadow complex.

Shadow tetap berada pada diri seseorang melalui dua representasi yang telah ditanamkan melalui indoktrinasi sosial, yaitu perbedaan in-group dengan out-group, atau setan/iblis sebagai musuh yang harus diperangi. Setiap manusia memilikinya sebagai suatu kesatuan utuh. Kebaikan dan kejahatan didalam dirinya yang tidak bisa dipisahkan. Konsep ini bukanlah hal baru, namun bisa kita lihat dalam cerita-cerita, misalnya Dr. Jekyl and Mr Hyde, dan tuhan pada perjanjian lama yang membinasakan sekaligus mencintai umatnya.

Kita, sebagai manusia utuh, memiliki kebaikan dan kejahatan pada satu tubuh secara bersamaan. Namun ada yang dimunculkan ke-kesadaran dan ada yang berada dibalik kesadaran itu sendiri. Ketika suatu ancaman muncul, manusia memiliki sistem pertahanan diri (ego defense-mechanism), yaitu represi, penyangkalan, dan proyeksi. Ancaman itu kemudian di represi kedalam ketidaksadaran, disangkal keberadaannya, – walaupun disangkal tetap saja ada – sehingga seseorang memproyeksikan kepada orang lain.


Hal ini menjelaskan mengapa timbul prasangka dan kebencian kepada kelompok lain. Kebencian yang direpresi dan disangkal timbul dalam bentuk baru sebagai mekanisme diri yaitu membenci orang lain, dan menjadikan orang lain sebagai the devil yang sah-sah saja untuk dibenci, untuk dimusuhi, atau lebih lagi untuk dimusnahkan. Seperti Hitler pada holocaust atau dalam konflik antar etnis pada beberapa suku di Indonesia yang menewaskan ribuan orang.
 
Untuk menyelesaikan mekanisme diri yang secara otomatis dilakukan manusia ini, seseorang harus berani melihat kedalam shadow-nya. Hal ini dikatakan sulit, karena didalam shadow tersimpan semua hal yang tidak diinginkan, rasa malu, perasaan bersalah, rasa benci, dll. Namun, Jung melanjutkan, seberapa sakitnya seseorang harus melihat kedalam shadownya, hal tersebut sangat diperlukan. Karena didalam shadow terletak banyak kekuatan psychic yang membantu manusia mencapai keutuhan (wholeness).
 
Keutuhan terletak pada The Self (dengan kapital S), yaitu tujuan dari eksistensi yang sudah tercetak didalam blue print genetis spesies manusia. The Self mungkin serupa dengan konsep Brahma pada agama Hindu. Makna hidup manusia yang paling dalam, suatu fungsi transenden. Tidak heran kita bisa menemukan seni dan agama pada setiap kebudayaan universal yang menandakan bahwa manusia mencoba mencari sosok tuhan – yang sebenarnya sudah berada didalam dirinya sendiri (Self).

Jadi…
Sudahkah kamu mengatasi shadow-mu? Mungkin jika ada waktu untuk merefleksikan, lihatlah kedalam diri. Jika kamu adalah orang yang cepat marah, cepat benci, cepat prasangka, suka gosip yang ngejelekin orang, uhmm dibandingkan ngurusin orang lain, prasangka yang engga-engga terhadap out-group, akan lebih baik waktu yang berarti ini digunakan untuk melihat kedalam dirimu sendiri. Sekalian turut menciptakan ‘a better world, full of peace’.

“The devil is in you. Do you want to cope it, or simply project it over and over unto the never-ending cycle of prejudice to others? You choose!” (Lora)


Tidak ada komentar :

Posting Komentar