Selasa, 27 April 2010

Membaca melalui konsep dan teori berbeda dengan kondisi mengalami

Banyak diantara masyarakat pada umumnya hanya melalui membaca, menonton data matang lalu memberikan kritikan dan macam asumsi masing-masing terhadap obyek yang ada. Namun tidak berpikir, bagaimana bila posisi kita yang mengalami? Pernahkah kita berada dalam posisi objek yang ada. Karena dengan mengalaminya sendiri ke dalam data yang mentah, maka kita pasti akan mampu menjustifikasi keadaan kita. Terlalu banyak dari kita hanya bisa membuat asumsi sendiri setelah itu melakukan justifikasi dan punishment terhadap objeknya. Ini sudah menjadi kebiasaan buruk atau budaya yang ada di masa kini. Sekarang ini modenya memilih penggunaan logika daripada penggunaan kekuatan fisik seperti era zaman dulu. Sehingga munculnya pemikiran-pemikiran yang ada di ubah menjadi semacam konsep dan teori-teori yaitu data matang yang harus dibaca dan dihafal. Sebelum munculnya berbagai konsep maupun teori ada hal yang harus dialami, pengertiannya sebelum data yang matang harus ada data yang mentah.


Budaya sekarang ini lebih mengedepankan keadaan matang daripada merasakan data mentahnya sebagai yang ikut mengalami. Karena sudah menjadi sebuah budaya sehingga budaya semacam itu merupakan terali besi yang selalu mengikat kita. Budaya yang ada saat ini adalah pengamatan objective mengamati objek dari ranah luar sehingga pengalaman yang kita dapat cenderung melalui posisi penglihatan dan mengambil asumsi yang ada saja. Pengamatan secara subyective seolah telah menjadi hal yang terlupakan. Seandainya budaya yang kita gunakan melalui pengamatan subyective maka kita akan mengambil posisi pada ranah dalam, posisi yang mengalami pengkondisian. Sehingga apa yang kita rasakan juga melalui data mentah dan tidak asal mengambil asumsi dan punishment.

Empati menjadi Kebutuhan Fundamental antar Individu


Peranan individu dengan individu lainnya adalah saling menopang dan mengisi potensi berdasarkan kemampuannya masing-masing. Sehingga dalam sosialisasi antar individu dibutuhkan empati sebagai dasar relasi yang saling memahami. Proses berempati adalah proses dimana kita harus melihat segala sesuatunya berlandaskan subjektivitas dan loyalitas. Kita menjadikan objek sebagai subjek seperti kita, dalam hal ini boleh berdasarkan visualisasi, feeling ataupun netralisasi. Ketika individu dihadapkan dalam peranan sosial atau sebagai insan sosial, maka kita dihadapkan kepada kewajiban kita untuk saling memikul dan memahami potensinya masing-masing. Empati termasuk dalam konteks tindakan dasar dan aspek yang sangat sederhana sebelum segalanya berada dalam hal yang sangat kompleks. Jika empati sudah termasuk dalam konteks tindakan dasar maka kita harus terhindar dari peranan kita yang mungkin berada dalam sisi ranah oportunistik dan sarkasme. Kita mampu menghilangkan atau mengabolisi kebiasaan umum yang mendahului stigma dan diskriminasi jika kita menggunakan empati. Meskipun empati menjadi topik yang sederhana namun memiliki fungsional yang tidak bisa dihilangkan.
Mari berempati!