Senin, 22 Februari 2010

Universalitas Melawan Diskriminasi Minoritas



Banyak faktor yang menentukan terjadinya diskriminasi pada ruang lingkup sosial. Subjek yang mengikuti alur budaya dan spesifikasi pengetahuan sehingga kita berdiri dan menduduki sudut tertentu saja. Budaya yang sudah banyak kita santap dan menelannya sebagai data matang, maka kita menjadi individu atau kelompok yang terkotak-kotak. Kita tidak melihat adanya equilibrum persepsi dan empati terhadap ruang lingkup sosial. Oleh dikarenakan hal tersebut, Kita terpikat pada persepsi yang bagi kita menjadi kebenaran mutlak atau semacam "belief systems". Realita saat ini cukup menunjukkan bahwa proses diskriminasi terjadi pada banyak ruang kehidupan. Dengan adanya sistemisasi budaya yang dibentuk sebagai aturan sehingga kita terpikat persepsi tersebut dan secara tidak sadar melakukan tindakan intimidasi pada lain pihak. Kasus Srilanka pada tahun 2009-2010, menunjukkan adanya proses diskrimasi pada kaum minoritas. golongan notabene atau mayoritas melakukan abolisi untuk hak asasi manusia dari kaum minoritas. Di Indonesia, memiliki banyak sekali budaya dan keyakinan. Namun tidak jarang, sebagai kaum mayoritas keyakinan yang diantara kita melakukan diskriminasi terhadap kaum minoritas, baik secara individu maupun kelompok. Negara atau bangsa atau unit sosial, pada dasarnya memiliki sisi pluralisme tapi karena adanya notabene secara kuantitas yang signifikan, mereka secara wewenang menindas kaum minoritas.
Disinilah menyadarkan pada kita bahwa kita harus mau mengamati sebuah perbedaan serta relasinya dangan sikap universal. Ketika seseorang mau menilai segalanya dengan rasa universal, maka ia akan menghapus sisi diskriminasi golongan dan mau berpandangan subjektif pada perbedaan-perbedaan. Persepsi memang selalu memiliki kekuatan differensiasi yang terkadang parameternya absolut. Akan tetapi, universalitas akan merelokasi perbedaan persepsi dengan rasa persamaan HAM. Sisi konservatif dari budaya yang pada umumnya membutakan persamaan hak harus dihindari sehingga kita mau merealisasikan sifat universal.

Sabtu, 06 Februari 2010

Tradisi, Budaya dan Agama dipandang Baku


Beberapa nilai budaya yang sifatnya tradisi, adat atau keagamaan dalam masyarakat kita masih dianggap sebagai hal yang baku untuk menjalani sebuah kehidupan. Padahal hal tersebut memiliki nilai negatif, sebab bersifat memaksa dan malah lebih mengedepankan sikap-sikap kontra pada makna Hak Asasi Manusia. Hak terhadap kebebasan dan rasa saling menghormati dapat hilang sebab adanya nilai-nilai yang sebenarnya tidak diperlukan. Contohnya, penggunaan nilai pandang untuk membeda-bedakan sifat, essensi dan penilaan bagi seseorang tertentu. Individu yang menggunakan "aksesoris tertentu" bisa dipandang masyarakat yang baik, sedangkan yang tidak maka dipandang sebaliknya. Hal tersebut merupakan contoh dari sebuah penghilangan arti identitas dalam cara pandang adat dan keagamaan. Atau contoh lain, dalam penjustifikasian individu yang disebabkan adanya perbedaan orientasi seksual. Hal tersebut terjadi dikarenakan masyarakat yang terlalu menganggap tabu sebuah "kelainan" atau dianggap nilai "penyimpangan". Terkadang bahkan hal yang dianggap tabu tersebut justru diberikan semacam stigmatisasi (hukuman) tertentu. Padahal beberapa hal yang dianggap tabu dalam masyarakat tersebut adalah hal yang normal namun disebabkan budaya yang membelenggu atau "belief systems" yang masih dianggap baku. Hal seperti itu harus dikritisi secara cermat agar adanya keselarasan derajat dalam masyarakat. Beberapa lembaga kemasyarakatan di Indonesia terbiasa dalam menggalakkan stigma untuk hal tabu dengan alasan doktrin atau dogma agama. Belum lama, beberapa lembaga atau organisasi masyarakat mengeluarkan beberapa fatwa anti pluralisme. Sejujurnya, hal tersebut merupakan tindakan ironis yang dilakukan untuk hal yang justru tidak bisa diterima sebuah realita. Bangsa Indonesia dari sejarahnya merupakan bangsa yang pluralisme, yaitu keberagaman suku, etnis, keyakinan, budaya khas nya dan lain-lain. Fatwa anti pluralisme yang digalakkan akan menimbulkan banyak pertikaian. Sebab fatwa tersebut hanya memihak kepada satu pihak tertentu, dimana pihaknya merasa berada pada kebenaran. Sangat beruntung bahwa masyarakat ini masih cerdas untuk menolaknya. Masyarakat tanah air sudah sepatutnya menanggapi tiap keberagaman tradisi dengan nilai universal. Universal, dalam arti tidak ada pembakuan nilai tradisi yang menimbulkan perpecahan golongan tertentu. Tak perlu ada cara pandang atau nilai yang sifatnya mempojokkan pihak lain dan membakukan sebuah tradisi yang justru meningkatkan jumlah angka perpecahan. Revisi terhadap kebiasaan adat dan tradisi perlu dilakukan sebagai langkah memperbaiki hubungan sosial, baik antar ras dalam masyarakat, golongan etnis, keyakinan dan lain sebagainya. Dengan mengutamakan universalisasi dalam menciptakan hubungan individu dan masyarakat yang madani maka tujuan dalam memperbaiki hubungan strata sosial, ekonomi dan budaya akan tercapai.

Rabu, 03 Februari 2010

Bulan di Siang hari dan Mentari di Malam hari


Dalam ilmu Fengshui / falsafah china, dikenal simbol YinYang. Dalam kepribadian manusia dikenal istilah maskulinitas dan feminimitas. Mungkin banyak yang memberikan pernyataan bahwa kepribadian manusia agak sulit ditebak apabila dasarnya berganda. Berganda dalam arti nilai gradasi maskulin dan feminim seseorang memiliki kadar yang tidak relevansi. Atau mungkin kita bisa memberi pernyataan sebaliknya, kedua hal tersebut tak menjadi masalah.

Seorang pria memiliki kemungkinan nilai feminimitas-nya melebihi nilai maskulinitas-nya ataupun sebaliknya bagi wanita. Hal ini mengartikan bahwa disana tak ada yang perlu dipermasalahkan. Sebab setiap nilai kepribadian seseorang adalah hal normal. Sehingga disini kita mulai menanggapi segala bentuk kepribadian seseorang agar tidak perlu dijustifikasi. Terkadang atau mungkin sering kali, kita terbiasa melakukan proses justifikasi yang beralasan pada differensiasi kadar maskulin dan feminim individu. Padahal adanya differensiasi tersebut adalah bukti relevan-nya pluralisme. Karena pluralisme menjadi bagian dari kehidupan sosial maka kita belajar untuk saling menghargai nilai-nilai universal dan menjaga sikap konsolidasi kemanusiaan.
Bulan akan bersinar di siang hari dan Mentari akan cerah di malam hari, hal yang jelas tidak memiliki realitas. Akan tetapi kalimat tersebut merupakan simbol menjaga persatuan bukan perselisihan.