Sabtu, 06 Februari 2010

Tradisi, Budaya dan Agama dipandang Baku


Beberapa nilai budaya yang sifatnya tradisi, adat atau keagamaan dalam masyarakat kita masih dianggap sebagai hal yang baku untuk menjalani sebuah kehidupan. Padahal hal tersebut memiliki nilai negatif, sebab bersifat memaksa dan malah lebih mengedepankan sikap-sikap kontra pada makna Hak Asasi Manusia. Hak terhadap kebebasan dan rasa saling menghormati dapat hilang sebab adanya nilai-nilai yang sebenarnya tidak diperlukan. Contohnya, penggunaan nilai pandang untuk membeda-bedakan sifat, essensi dan penilaan bagi seseorang tertentu. Individu yang menggunakan "aksesoris tertentu" bisa dipandang masyarakat yang baik, sedangkan yang tidak maka dipandang sebaliknya. Hal tersebut merupakan contoh dari sebuah penghilangan arti identitas dalam cara pandang adat dan keagamaan. Atau contoh lain, dalam penjustifikasian individu yang disebabkan adanya perbedaan orientasi seksual. Hal tersebut terjadi dikarenakan masyarakat yang terlalu menganggap tabu sebuah "kelainan" atau dianggap nilai "penyimpangan". Terkadang bahkan hal yang dianggap tabu tersebut justru diberikan semacam stigmatisasi (hukuman) tertentu. Padahal beberapa hal yang dianggap tabu dalam masyarakat tersebut adalah hal yang normal namun disebabkan budaya yang membelenggu atau "belief systems" yang masih dianggap baku. Hal seperti itu harus dikritisi secara cermat agar adanya keselarasan derajat dalam masyarakat. Beberapa lembaga kemasyarakatan di Indonesia terbiasa dalam menggalakkan stigma untuk hal tabu dengan alasan doktrin atau dogma agama. Belum lama, beberapa lembaga atau organisasi masyarakat mengeluarkan beberapa fatwa anti pluralisme. Sejujurnya, hal tersebut merupakan tindakan ironis yang dilakukan untuk hal yang justru tidak bisa diterima sebuah realita. Bangsa Indonesia dari sejarahnya merupakan bangsa yang pluralisme, yaitu keberagaman suku, etnis, keyakinan, budaya khas nya dan lain-lain. Fatwa anti pluralisme yang digalakkan akan menimbulkan banyak pertikaian. Sebab fatwa tersebut hanya memihak kepada satu pihak tertentu, dimana pihaknya merasa berada pada kebenaran. Sangat beruntung bahwa masyarakat ini masih cerdas untuk menolaknya. Masyarakat tanah air sudah sepatutnya menanggapi tiap keberagaman tradisi dengan nilai universal. Universal, dalam arti tidak ada pembakuan nilai tradisi yang menimbulkan perpecahan golongan tertentu. Tak perlu ada cara pandang atau nilai yang sifatnya mempojokkan pihak lain dan membakukan sebuah tradisi yang justru meningkatkan jumlah angka perpecahan. Revisi terhadap kebiasaan adat dan tradisi perlu dilakukan sebagai langkah memperbaiki hubungan sosial, baik antar ras dalam masyarakat, golongan etnis, keyakinan dan lain sebagainya. Dengan mengutamakan universalisasi dalam menciptakan hubungan individu dan masyarakat yang madani maka tujuan dalam memperbaiki hubungan strata sosial, ekonomi dan budaya akan tercapai.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar