Kamis, 29 Agustus 2013

Fenomena Déjà vu pada Manusia

Pasti kita semua sudah pernah mengalami yang namanya DE JA VU! kalau ditanya apa itu Deja vu itu adalah sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya, Peristiwa ini bisa berupa sebuah tempat baru yang sedang dikunjungi, percakapan yang sedang dilakukan, atau sebuah acara TV yang sedang ditonton. bahkan lebih anehnya lagi, kita juga seringkali tidak mampu untuk dapat benar-benar mengingat kapan dan bagaimana pengalaman sebelumnya itu terjadi secara rinci. Yang kita tahu hanyalah adanya sensasi misterius yang membuat kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu.
 
Keanehan fenomena Deja vu ini kemudian melahirkan beberapa teori metafisis yang mencoba menjelaskan sebab musababnya. Salah satunya adalah teori yang mengatakan bahwa deja vu sebenarnya berasal dari kejadian serupa yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau.
 
Berdasarkan Ilmu Psikologi sendiri tentang Deja vu Pada awalnya, beberapa ilmuwan beranggapan bahwa deja vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima oleh sebelah mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi yang sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat. Teori yang dikenal dengan nama “Optical Pathway Delay” ini dipatahkan ketika pada bulan Desember tahun lalu ditemukan bahwa orang butapun bisa mengalami deja vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan perabaannya.
 
Selain itu, sebelumnya Chris Moulin dari University of Leeds, Inggris, telah menemukan pula penderita deja vu kronis: orang-orang yang sering dapat menjelaskan secara rinci peristiwa-peristiwa yang tidak pernah terjadi. Mereka merasa tidak perlu menonton TV karena merasa telah menonton acara TV tersebut sebelumnya (padahal belum), dan mereka bahkan merasa tidak perlu pergi ke dokter untuk mengobati penyakitnya karena mereka merasa sudah pergi ke dokter dan dapat menceritakan hal-hal rinci selama kunjungannya! Alih-alih kesalahan persepsi atau delusi, para peneliti mulai melihat sebab musabab deja vu ke dalam otak dan ingatan kita.
 
Baru-baru ini, sebuah eksperimen pada tikus mungkin dapat memberi pencerahan baru mengenai asal-usul deja vu yang sebenarnya. Susumu Tonegawa, seorang neuroscientist MIT, membiakkan sejumlah tikus yang tidak memiliki dentate gyrus, sebuah bagian kecil dari hippocampus, yang berfungsi normal. Bagian ini sebelumnya diketahui terkait dengan ingatan episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi kita. Ketika menjumpai sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda visual, audio, bau, waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indra untuk dicocokkan dengan ingatan episodik kita. Jika tidak ada yang cocok, situasi ini akan ‘didaftarkan’ sebagai pengalaman baru dan dicatat untuk pembandingan di masa depan.
 
 
 
Menurut Tonegawa, tikus normal mempunyai kemampuan yang sama seperti manusia dalam mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa situasi. Namun, seperti yang telah diduga, tikus-tikus yang dentate gyrus-nya tidak berfungsi normal kemudian mengalami kesulitan dalam membedakan dua situasi yang serupa tapi tak sama. Hal ini, tambahnya, dapat menjelaskan mengapa pengalaman akan deja vu meningkat seiring bertambahnya usia atau munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti Alzheimer (kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus) akibat kedua hal tersebut membuat kita sulit menentukan apakah sesuatu baru atau lama.
 
Menciptakan ‘Deja Vu’ dalam Laboratorium
Salah satu hal yang menyulitkan para peneliti dalam mengungkap misteri deja vu adalah kemunculan alamiahnya yang spontan dan tidak dapat diperkirakan. Seorang peneliti tidak dapat begitu saja meminta partisipan untuk datang dan menyuruh mereka mengalami deja vu dalam kondisi lab yang steril. Deja vu pada umumnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana tidak mungkin bagi peneliti untuk terus-menerus menghubungkan partisipan dengan alat pemindai otak yang besar dan berat. Selain itu, jarangnya deja vu terjadi membuat mengikuti partisipan kemana-mana setiap saat bukanlah hal yang efisien dan efektif untuk dilakukan. Namun beberapa peneliti telah berhasil mensimulasikan keadaan yang mirip Deja vu.
 
Seperti yang dilaporkan LiveScience, Kenneth Peller dari Northwestern University menemukan cara yang sederhana untuk membuat seseorang memiliki ingatan palsu. Para partisipan diperlihatkan sebuah gambar, namun mereka diminta untuk membayangkan sebuah gambar yang lain sama sekali dalam benak mereka. Setelah dilakukan beberapa kali, para partisipan ini kemudian diminta untuk memilih apakah suatu gambar tertentu benar-benar mereka lihat atau hanya dibayangkan. Ternyata gambar-gambar yang hanya dibayangkan partisipan seringkali diklaim benar-benar mereka lihat. Karena itu, deja vu mungkin terjadi ketika secara kebetulan sebuah peristiwa yang dialami seseorang serupa atau mirip dengan gambaran yang pernah dibayangkan.
 
LiveScience juga melaporkan percobaan Akira O’Connor dan Chris Moulin dari University of Leeds dalam menciptakan sensasi deja vu melalui hipnosis. Para partisipan pertama-tama diminta untuk mengingat sederetan daftar kata-kata. Kemudian mereka dihipnotis agar mereka melupakan kata-kata tersebut. Ketika para partisipan ini ditunjukkan daftar kata-kata yang sama, setengah dari mereka melaporkan adanya sensasi yang serupa seperti dejavu, sementara separuhnya lagi sangat yakin bahwa yang mereka alami adalah benar-benar deja vu. Menurut mereka hal ini terjadi karena area otak yang terkait dengan familiaritas diganggu kerjanya oleh hipnosis.

Selasa, 06 Agustus 2013

Kemampuan Performa Beyonce yang Sangat Prima

Mampukah anda bila diminta menyanyi dengan lagu yang temponya cukup cepat. Harus menguasai beberapa koregrafi. Lalu terdapat bagian yang naik lebih dari 3 atau 4 kali overtune. Tidak hanya itu, lagu tersebut juga menuntut nafas yang prima dan syarat dengan nada tinggi terutama full voice. Bila anda wanita, maka kebetulan anda saat itu juga tengah mengandung / hamil 2 bulan. Dan untuk tampil dengan lagu yang nge-beat maka tentunya dituntut banyak bergerak dan prima. Tentunya kalau saya pribadi mungkin sudah kewalahan kelewat pingsan.

Namun faktanya ada juga penyanyi mancanegara yang mampu mengambil semua tantangan diatas. Penyanyi asal Amerika Serikat yang sudah banyak meraih prestasi dalam industri musik populer. Dia lah Beyonce Knowles.
 


Dalam ajang MTV Video Music Awards tahun 2011 di LA, Beyonce menyanyikan lagunya "Love on Top" yang juga masuk nominasi diajang tersebut. Pssst... Ternyata saat tampil ia tengah mengandung anak pertamanya. Tapi dalam video berikut ini, ia bahkan melewati semua keadaan sulit tersebut dengan hebatnya.





Setelah melihat Video Live diatas, berapa kali kah overtune pada reff yang ia nyanyikan ?

Senin, 05 Agustus 2013

Orientasi Seksual dalam Kacamata Psikologi


Orientasi seksual adalah pilihan sosioerotis seseorang untuk menentukan jenis kelamin partner seksualnya apakah dari jenis kelamin yang berbeda atau jenis kelamin yang sama (Galliano, 2003; Lips, 2005). Perlu ditambahkan bahwa pilihan ini tidak melulu berbicara soal hubungan seks, namun juga menyangkut misalnya emosi, perasaan, dan keinginan untuk memiliki pasangan hidup, serta aspek seksualitas yang lebih luas. Orientasi seksual secara garis besar dapat dibedakan menjadi:
  • Heteroseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelamin yang berlawanan.
  • Homoseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelaminnya sendiri (Masters, 1992)
  • Biseksual, yaitu orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan (Masters, 1992)
Kinsey memperkenalkan skala rating 7 point untuk menjelaskan tentang pengalaman seksual yang tampak dan reaksi dalam individu termasuk fantasi (Masters, 1992).
 
Sementara teori lain juga mencoba menjelaskan model dari orientasi seksual ini, diantaranya adalah model psikoanalitik klasik yang menyatakan bahwa semua orang adalah biseksual atau model yang ditawarkan oleh Storm, yaitu Two-Dimensional-Orthogonal, yang menyatakan bahwa homoerotisme dan heteroertisme dalam diri individu adalah dua hal yang independen. Dalam model ini, homoseksual adalah orang yang memiliki tingkat homoerotisme yang tinggi dan tingkat heteroerotisme yang rendah (McWhirter, 1990).

Penelitian-penelitian telah banyak dilakukan untuk mencari tahu faktor-faktor penyebab mengapa seseorang memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan yang lainnya. Secara garis besar, terdapat dua teori yang mencoba menjelaskan fenomena tersebut yaitu teori biologis dan teori psikologis.

a. Teori Biologis

Teori ini mempercayai bahwa orientasi seksual dipengaruhi oleh faktor genetik atau faktor hormonal. Kallman, dalam Masters (1992), telah melakukan penelitian terhadap orang-orang kembar dimana salah satunya diidentifikasi sebagai seorang homoseksual. Asumsinya adalah lingkungan prenatal dan postnatal dari dua orang kembar adalah sama sehingga faktor genetik yang menyebabkan homoseksual juga sama sehingga kemungkinan dua orang kembar sama-sama memiliki orientasi seksual homoseksual lebih besar dibandingkan dengan kemungkinan salah satunya homoseksual sementara yang lain heteroseksual. Kallman juga memaparkan bahwa kemungkinan tersebut lebih besar terjadi pada kembar monozygotic (identik secara genetis) dibandingkan pada kembar dizygotic, yaitu kembar yang tidak identik secara genetis (Allgeier, 1991). Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Zuger dan Heston & Shields ternyata tidak menunjukkan hasil yang sama sehingga teori ini tidak digunakan lagi (Masters, 1992).

Beberapa tipe penelitian yang berbeda telah mengarahkan banyak ahli untuk membuat spekulasi dari kemungkinan adanya faktor hormonal yang menyebabkan homoseksualitas (Masters, 1992). Pertama, dokumentasi dari penelitian yang dilakukan oleh Dorner, Money dan Ehrhardt, dan Htchison, mengungkapkan bahwa pemberian treatmen hormonal pada saat prenatal dapat mengarahkan kepada pola perilaku homoseksual pada beberapa spesies binatang (Masters, 1992). Kedua, beberapa temuan menunjukkan bahwa kekurangan hormon seks pada saat prenatal mungkin dapat diasosiasikan dengan homoseksualitas. Contoh kasusnya adalah penelitian (Ehrhardt, Evers, dan Money; Money dan Schwartz) terhadap perempuan dengan adrenogenital syndrome -yaitu kekurangan hormon androgen pada masa prenatal- mengindikasikan bahwa individu tersebut memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi seorang lesbian. Ketiga, perhatian yang sangat besar difokuskan pada perbandingan jumlah hormon pada orang dewasa yang homoseksual dan heteroseksual. Sementara beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Meyer-Bahlburg dan Tourney menunjukkan bahwa laki-laki homoseksual memiliki testoterone yang lebih sedikit dan estrogen yang lebih banyak, dan satu penelitian lain menemukan bahwa kadar testosterone yang tinggi pada perempuan lesbian dibandingkan pada perempuan heteroseks, penelitian-penelitian lainnya justru gagal menunjukkan asumsi ini (Masters, 1992). Salah satu keterbatasan teori ini dicontohkan pada pemberian treatment hormon seks pada homoseksual dewasa yang ternyata tidak mengubah orientasi seksual mereka.

Penelitian terakhir mengenai faktor biologis dalam pembentukan orientasi seksual dilakukan oleh Simon LeVay (Rice, 2002) yang menemukan sekumpulan syaraf dalam hypothalamus laki-laki heteroseksual ukurannya tiga kali lebih besar dibandingkan dengan yang dimiliki oleh laki-laki homoseksual dan perempuan heteroseksual. Namun, hasil penelitian ini menimbulkan pertanyaan: Apakah kumpulan syaraf yang lebih kecil itu yang menyebabkan seseorang menjadi homoseksual atau justru sebaliknya, kehomoseksualan seseorang yang menyebabkan ukurannya mengecil? Penelitian yang lain menunjukkan bahwa syaraf-syaraf berubah dalam merespon suatu pengalaman. Hipotesis lain menyatakan mungkin ada faktor lain yang tidak diketahui yang menyebabkan baik itu homoseksualitas maupun perbedaan ukuran syaraf.


b. Teori Psikologis

Berbeda dengan teori biologis, teori psikologis mencoba menerangkan faktor penyebab homoseksualitas bukan dari aspek fisiologis. Freud percaya bahwa homoseksualitas adalah hasil perkembangan dari predisposisi biseksual yang terdapat dalam diri semua individu. Freud memiliki pemikiran bahwa setiap orang memiliki kecenderungan homoseksual yang bersifat laten, dan Freud percaya, bahwa dalam kondisi tertentu, misalnya saja continuing castration anxiety pada laki-laki, perilaku homoseksual mungkin akan muncul pada usia dewasa (Masters, 1992).

Bibier meneliti fenomena homoseksual ini dari sisi latar belakang keluarga. Penelitiannya menemukan bahwa kebanyakan dari homoseksual laki-laki memiliki ibu yang overprotective dan dominan, serta ayah yang lemah atau pasif. Pola keluarga seperti ini tidak ditemukan pada subjek heteroseksual (Masters, 1992). Bibier menamakan teorinya dengan triangular system, yaitu seorang homoseksual laki-laki secara tipikal adalah anak yang kelebihan intimasi, adanya ibu yang mengontrol, dan ayah yang ditolak (Allgeier, 1991). Sementara Wolf menemukan bahwa diantara 100 lesbian yang dibandingkan dengan perempuan heteroseksual, karakteristik orangtua mereka yang menonjol adalah penolakan terhadap ibu dan kurang atau tidak adanya peran ayah. Wolf mempercayai bahwa homoseksualitas dalam perempuan muncul karena penerimaan kasih sayang yang tidak adekuat dari ibu kepada anak perempuannya, yang mengarahkan anak perempuannya untuk mencari kasih sayang dari perempuan lain (Masters, 1992). Penelitian lain yang dilakukan oleh Robinson, Skeen, Flake-Hobson, dan Herman pada tahun 1982 dan melibatkan 322 orang homoseksual laki-laki dan perempuan menunjukkan hasil bahwa 2/3 responden menyatakan bahwa hubungan mereka dengan ayah adalah sangat memuaskan atau memuaskan. Tiga per empat responden menyatakan bahwa hubungan mereka dengan ibu sangat memuaskan atau memuaskan. Sekitar 64% responden merasa bahwa mereka selalu disayangi oleh ibunya, namun hanya 36% yang merasakan bahwa mereka selalu disayangi ayah mereka. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa hubungan dalam keluarga mungkin merupakan latar belakang dari orientasi seksual seseorang, namun tidak bisa digeneralisir pada semua kasus (Rice, 2002).

Sementara McGuire, Gagnon dan Simon, Masters dan Johnson, berpegang pada teori psikososial yang mengungkapkan bahwa homoseksualitas adalah fenomena yang dipelajari (Masters, 1992). Pengkondisian psikologis diasosiasikan dengan reinforcement atau punishment pada awal perilaku seksual (dan juga pikiran dan perasaan yang menyangkut seksualitas) yang mengontrol proses terbentuknya orientasi seksual. Pandangan behavioral ini juga menjelaskan mengapa beberapa orang heteroseksual menjadi homoseksual pada masa dewasa mereka, yaitu jika seseorang mendapatkan pengalaman heteroseksual yang tidak menyenangkan kemudian dikombinasikan dengan pengalaman homoseksual yang bersifat menyenangkan, dapat mengarahkan seseorang menjadi homoseksual. Observasi yang dilakukan Grundlach terhadap perempuan korban perkosaan laki-laki yang akhirnya menjadi lesbian, mendukung pendapat ini (Masters, 1992).

Penelitian yang melibatkan 686 laki-laki homoseksual, 293 perempuan homoseksual, 337 laki-laki heteroseksual, dan 140 perempuan heteroseksual, tidak dapat menemukan pendukung yang kuat bagi teori-teori psikoanalisis, teori belajar sosial, atau teori sosiologis lainnya, sehingga mereka membuat kesimpulan bahwa homoseksualitas pasti memiliki dasar biologis. Kesimpulan lainnya adalah bahwa tidak ada yang mengetahui secara pasti faktor-faktor yang menyebabkan homoseksualitas (Rice, 2002).

Tentu saja, bukan hanya psikologi yang mencoba menggali homoseksualitas ini, teori-teori sosial lain juga banyak yang mencoba mengkaji homoseksualitas dengan cara mereka masing-masing. Untuk mengetahui jawaban mengapa seseorang (menjadi) homoseksual, kita harus menemukan jawaban, mengapa seseorang (menjadi) heteroseksual, tentu dengan metode ilmiah, karena jika menggunakan alibi “kodrat”, selsesai sudah. Yang menjadi catatan penting adalah bahwa American Psychiatric Assosiation telah menghapuskan homoseksual dari daftar gangguan kejiwaan pada tahun 1974 dengan tidak mencantumkannya dalam DSM III dan diamini oleh WHO pada tahun 1992. Demikian juga dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa yang menjadi pegangan psikiater dan psikolog di Indonesia. 


Beberapa referensi yang dapat menjadi rujukan mengenai orientasi seksual :

Allgeier, E.R. & Allgeier, A.R. 1991. Sexual Orientation (3rd edition). Canada: D.C. Heat and Company.

Galliano, G. 2003. Gender : Crossing Boundaries. Canada : Wadsworth/ Thomson Learning

Lips, H.M. 2005. Sex and Gender : An Introduction (5th edition). New York : McGraw-Hill

Masters, W.H., Johnson, V.E., Kolodny, R.C. 1992. Human Sexuality (4th edition). USA : HarperCollins Publisher.

McWhirter, D.P., Sanders, S.A., June, M.R. 1990. Homosexuality/ Heterosexuality : Concept of Sexual Orientation. New York : Oxford University Press.


Source : http://galinkholic.blogspot.com/2011/07/orientasi-seksual-dalam-kacamata.html