Orientasi
seksual adalah pilihan sosioerotis seseorang untuk menentukan jenis
kelamin partner seksualnya apakah dari jenis kelamin yang berbeda atau
jenis kelamin yang sama (Galliano, 2003; Lips, 2005). Perlu ditambahkan
bahwa pilihan ini tidak melulu berbicara soal hubungan seks, namun juga
menyangkut misalnya emosi, perasaan, dan keinginan untuk memiliki
pasangan hidup, serta aspek seksualitas yang lebih luas. Orientasi
seksual secara garis besar dapat dibedakan menjadi:
- Heteroseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelamin yang berlawanan.
- Homoseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelaminnya sendiri (Masters, 1992)
- Biseksual, yaitu orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan (Masters, 1992)
Kinsey
memperkenalkan skala rating 7 point untuk menjelaskan tentang
pengalaman seksual yang tampak dan reaksi dalam individu termasuk
fantasi (Masters, 1992).

Sementara
teori lain juga mencoba menjelaskan model dari orientasi seksual ini,
diantaranya adalah model psikoanalitik klasik yang menyatakan bahwa
semua orang adalah biseksual atau model yang ditawarkan oleh Storm,
yaitu Two-Dimensional-Orthogonal, yang menyatakan bahwa homoerotisme dan
heteroertisme dalam diri individu adalah dua hal yang independen. Dalam
model ini, homoseksual adalah orang yang memiliki tingkat homoerotisme
yang tinggi dan tingkat heteroerotisme yang rendah (McWhirter, 1990).
Penelitian-penelitian
telah banyak dilakukan untuk mencari tahu faktor-faktor penyebab
mengapa seseorang memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan yang
lainnya. Secara garis besar, terdapat dua teori yang mencoba menjelaskan
fenomena tersebut yaitu teori biologis dan teori psikologis.
a. Teori Biologis
Teori
ini mempercayai bahwa orientasi seksual dipengaruhi oleh faktor genetik
atau faktor hormonal. Kallman, dalam Masters (1992), telah melakukan
penelitian terhadap orang-orang kembar dimana salah satunya
diidentifikasi sebagai seorang homoseksual. Asumsinya adalah lingkungan
prenatal dan postnatal dari dua orang kembar adalah sama sehingga faktor
genetik yang menyebabkan homoseksual juga sama sehingga kemungkinan dua
orang kembar sama-sama memiliki orientasi seksual homoseksual lebih
besar dibandingkan dengan kemungkinan salah satunya homoseksual
sementara yang lain heteroseksual. Kallman juga memaparkan bahwa
kemungkinan tersebut lebih besar terjadi pada kembar monozygotic
(identik secara genetis) dibandingkan pada kembar dizygotic, yaitu
kembar yang tidak identik secara genetis (Allgeier, 1991). Penelitian
selanjutnya yang dilakukan oleh Zuger dan Heston & Shields ternyata
tidak menunjukkan hasil yang sama sehingga teori ini tidak digunakan
lagi (Masters, 1992).
Beberapa
tipe penelitian yang berbeda telah mengarahkan banyak ahli untuk
membuat spekulasi dari kemungkinan adanya faktor hormonal yang
menyebabkan homoseksualitas (Masters, 1992). Pertama, dokumentasi dari
penelitian yang dilakukan oleh Dorner, Money dan Ehrhardt, dan Htchison,
mengungkapkan bahwa pemberian treatmen hormonal pada saat prenatal
dapat mengarahkan kepada pola perilaku homoseksual pada beberapa spesies
binatang (Masters, 1992). Kedua, beberapa temuan menunjukkan bahwa
kekurangan hormon seks pada saat prenatal mungkin dapat diasosiasikan
dengan homoseksualitas. Contoh kasusnya adalah penelitian (Ehrhardt,
Evers, dan Money; Money dan Schwartz) terhadap perempuan dengan
adrenogenital syndrome -yaitu kekurangan hormon androgen pada masa
prenatal- mengindikasikan bahwa individu tersebut memiliki kemungkinan
yang lebih besar untuk menjadi seorang lesbian. Ketiga, perhatian yang
sangat besar difokuskan pada perbandingan jumlah hormon pada orang
dewasa yang homoseksual dan heteroseksual. Sementara beberapa penelitian
seperti yang dilakukan oleh Meyer-Bahlburg dan Tourney menunjukkan
bahwa laki-laki homoseksual memiliki testoterone yang lebih sedikit dan
estrogen yang lebih banyak, dan satu penelitian lain menemukan bahwa
kadar testosterone yang tinggi pada perempuan lesbian dibandingkan pada
perempuan heteroseks, penelitian-penelitian lainnya justru gagal
menunjukkan asumsi ini (Masters, 1992). Salah satu keterbatasan teori
ini dicontohkan pada pemberian treatment hormon seks pada homoseksual
dewasa yang ternyata tidak mengubah orientasi seksual mereka.
Penelitian
terakhir mengenai faktor biologis dalam pembentukan orientasi seksual
dilakukan oleh Simon LeVay (Rice, 2002) yang menemukan sekumpulan syaraf
dalam hypothalamus laki-laki heteroseksual ukurannya tiga kali lebih
besar dibandingkan dengan yang dimiliki oleh laki-laki homoseksual dan
perempuan heteroseksual. Namun, hasil penelitian ini menimbulkan
pertanyaan: Apakah kumpulan syaraf yang lebih kecil itu yang menyebabkan
seseorang menjadi homoseksual atau justru sebaliknya, kehomoseksualan
seseorang yang menyebabkan ukurannya mengecil? Penelitian yang lain
menunjukkan bahwa syaraf-syaraf berubah dalam merespon suatu pengalaman.
Hipotesis lain menyatakan mungkin ada faktor lain yang tidak diketahui
yang menyebabkan baik itu homoseksualitas maupun perbedaan ukuran
syaraf.
b. Teori Psikologis
Berbeda
dengan teori biologis, teori psikologis mencoba menerangkan faktor
penyebab homoseksualitas bukan dari aspek fisiologis. Freud percaya
bahwa homoseksualitas adalah hasil perkembangan dari predisposisi
biseksual yang terdapat dalam diri semua individu. Freud memiliki
pemikiran bahwa setiap orang memiliki kecenderungan homoseksual yang
bersifat laten, dan Freud percaya, bahwa dalam kondisi tertentu,
misalnya saja continuing castration anxiety pada laki-laki, perilaku
homoseksual mungkin akan muncul pada usia dewasa (Masters, 1992).
Bibier
meneliti fenomena homoseksual ini dari sisi latar belakang keluarga.
Penelitiannya menemukan bahwa kebanyakan dari homoseksual laki-laki
memiliki ibu yang overprotective dan dominan, serta ayah yang lemah atau
pasif. Pola keluarga seperti ini tidak ditemukan pada subjek
heteroseksual (Masters, 1992). Bibier menamakan teorinya dengan
triangular system, yaitu seorang homoseksual laki-laki secara tipikal
adalah anak yang kelebihan intimasi, adanya ibu yang mengontrol, dan
ayah yang ditolak (Allgeier, 1991). Sementara Wolf menemukan bahwa
diantara 100 lesbian yang dibandingkan dengan perempuan heteroseksual,
karakteristik orangtua mereka yang menonjol adalah penolakan terhadap
ibu dan kurang atau tidak adanya peran ayah. Wolf mempercayai bahwa
homoseksualitas dalam perempuan muncul karena penerimaan kasih sayang
yang tidak adekuat dari ibu kepada anak perempuannya, yang mengarahkan
anak perempuannya untuk mencari kasih sayang dari perempuan lain
(Masters, 1992). Penelitian lain yang dilakukan oleh Robinson, Skeen,
Flake-Hobson, dan Herman pada tahun 1982 dan melibatkan 322 orang
homoseksual laki-laki dan perempuan menunjukkan hasil bahwa 2/3
responden menyatakan bahwa hubungan mereka dengan ayah adalah sangat
memuaskan atau memuaskan. Tiga per empat responden menyatakan bahwa
hubungan mereka dengan ibu sangat memuaskan atau memuaskan. Sekitar 64%
responden merasa bahwa mereka selalu disayangi oleh ibunya, namun hanya
36% yang merasakan bahwa mereka selalu disayangi ayah mereka. Hasil
penelitian ini menggambarkan bahwa hubungan dalam keluarga mungkin
merupakan latar belakang dari orientasi seksual seseorang, namun tidak
bisa digeneralisir pada semua kasus (Rice, 2002).
Sementara
McGuire, Gagnon dan Simon, Masters dan Johnson, berpegang pada teori
psikososial yang mengungkapkan bahwa homoseksualitas adalah fenomena
yang dipelajari (Masters, 1992). Pengkondisian psikologis diasosiasikan
dengan reinforcement atau punishment pada awal perilaku seksual (dan
juga pikiran dan perasaan yang menyangkut seksualitas) yang mengontrol
proses terbentuknya orientasi seksual. Pandangan behavioral ini juga
menjelaskan mengapa beberapa orang heteroseksual menjadi homoseksual
pada masa dewasa mereka, yaitu jika seseorang mendapatkan pengalaman
heteroseksual yang tidak menyenangkan kemudian dikombinasikan dengan
pengalaman homoseksual yang bersifat menyenangkan, dapat mengarahkan
seseorang menjadi homoseksual. Observasi yang dilakukan Grundlach
terhadap perempuan korban perkosaan laki-laki yang akhirnya menjadi
lesbian, mendukung pendapat ini (Masters, 1992).
Penelitian
yang melibatkan 686 laki-laki homoseksual, 293 perempuan homoseksual,
337 laki-laki heteroseksual, dan 140 perempuan heteroseksual, tidak
dapat menemukan pendukung yang kuat bagi teori-teori psikoanalisis,
teori belajar sosial, atau teori sosiologis lainnya, sehingga mereka
membuat kesimpulan bahwa homoseksualitas pasti memiliki dasar biologis.
Kesimpulan lainnya adalah bahwa tidak ada yang mengetahui secara pasti
faktor-faktor yang menyebabkan homoseksualitas (Rice, 2002).
Tentu
saja, bukan hanya psikologi yang mencoba menggali homoseksualitas ini,
teori-teori sosial lain juga banyak yang mencoba mengkaji
homoseksualitas dengan cara mereka masing-masing. Untuk mengetahui
jawaban mengapa seseorang (menjadi) homoseksual, kita harus menemukan
jawaban, mengapa seseorang (menjadi) heteroseksual, tentu dengan metode
ilmiah, karena jika menggunakan alibi “kodrat”, selsesai sudah. Yang
menjadi catatan penting adalah bahwa American Psychiatric Assosiation
telah menghapuskan homoseksual dari daftar gangguan kejiwaan pada tahun
1974 dengan tidak mencantumkannya dalam DSM III dan diamini oleh WHO
pada tahun 1992. Demikian juga dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis
Gangguan Jiwa yang menjadi pegangan psikiater dan psikolog di Indonesia.
Beberapa referensi yang dapat menjadi rujukan mengenai orientasi seksual :
Allgeier, E.R. & Allgeier, A.R. 1991. Sexual Orientation (3rd edition). Canada: D.C. Heat and Company.
Galliano, G. 2003. Gender : Crossing Boundaries. Canada : Wadsworth/ Thomson Learning
Lips, H.M. 2005. Sex and Gender : An Introduction (5th edition). New York : McGraw-Hill
Masters, W.H., Johnson, V.E., Kolodny, R.C. 1992. Human Sexuality (4th edition). USA : HarperCollins Publisher.
McWhirter,
D.P., Sanders, S.A., June, M.R. 1990. Homosexuality/ Heterosexuality :
Concept of Sexual Orientation. New York : Oxford University Press.
Source : http://galinkholic.blogspot.com/2011/07/orientasi-seksual-dalam-kacamata.html