-Jung, A Very Short Introduction-
Kenapa dunia selalu penuh dengan kejahatan? Kenapa dunia selalu penuh
dengan prasangka terhadap orang lain? Seberapa pun banyaknya para
pembela kebajikan, kejahatan itu tetap ada. Begitu juga dengan prasangka
terhadap kelompok lain yang semakin hari menggrogoti hati manusia
dengan insecurity dan hatred.
Manusia memiliki dua sisi didalam dirinya. Yang pertama adalah
persona. Persona adalah topeng yang kita pakai sehari-hari, sebagai
seorang mahasiswa, sebagai wanita karir, sebagai pengusaha sukses,
sebagai pengangguran. Persona adalah topeng yang mengikuti tuntutan
sosial, dan topeng sebagaimana kita ingin orang lain melihat kita. Atau
dengan kata lain persona adalah social archetype atau conformity
archetype. Persona terbentuk sejak masa kecil melalui ekspektasi orang
tua, guru, atau teman-teman, dan akhirnya menjadi suatu bentuk
‘tampilan’ akibat proses learning, sedangkan sisanya (tingkah laku yang
tidak mendapat penguatan sosial) menjadi tersembunyi atau direpresi
dalam ketidaksadaran dan menjadi sisi yang bersebelahan dengan persona.
Namun persona, seperti juga asal katanya ‘personne‘ yaitu topeng yang
biasa dipakai aktor pada masa Yunani Kuno, bukanlah Diri yang
sebenarnya.
Sisi yang bersebelahan dengan persona adalah shadow. Berbeda dengan
persona yang terletak pada kesadaran manusia, shadow berada pada alam
ketidaksadaran. Shadow bersifat seperti kegelapan yang selalu mengikuti,
yang tidak diinginkan, yang terkadang dihiraukan, namun tetap ada.
Seperti bayangan yang tidak bisa terlepas dari obyeknya. Shadow yang
dihiraukan kemudian muncul dalam bentuk mimpi, terkadang mimpi yang
bersifat hostile, penuh kemarahan, dan ketakutan. Di dalam shadow berisi
hal-hal yang ingin kita hindarkan, keinginan-keinginan yang
bertentangan dengan norma sosial.
Yang paling penting begitu juga paling berbahaya dari shadow adalah
archetype of enemy, predator, or evil stranger. Archetype ini muncul
sejak tahun pertama manusia hidup, ketika ibu mendekati bayi maka bayi
sudah mulai berpikir mengenai attachment, ia merasa nyaman atau
sebaliknya merasa takut dan defensif ketika didekati oleh orang yang
tidak ia kenali. Mulai dari sinilah seorang bayi, pada spesies apapun,
sudah bisa membedakan antara teman atau lawan. Haruskah penerimaan atau
penolakan untuk melindungi dirinya. Ini adalah shadow complex.
Shadow tetap berada pada diri seseorang melalui dua representasi yang
telah ditanamkan melalui indoktrinasi sosial, yaitu perbedaan in-group
dengan out-group, atau setan/iblis sebagai musuh yang harus diperangi.
Setiap manusia memilikinya sebagai suatu kesatuan utuh. Kebaikan dan
kejahatan didalam dirinya yang tidak bisa dipisahkan. Konsep ini
bukanlah hal baru, namun bisa kita lihat dalam cerita-cerita, misalnya
Dr. Jekyl and Mr Hyde, dan tuhan pada perjanjian lama yang membinasakan
sekaligus mencintai umatnya.
Kita, sebagai manusia utuh, memiliki kebaikan dan kejahatan pada satu
tubuh secara bersamaan. Namun ada yang dimunculkan ke-kesadaran dan ada
yang berada dibalik kesadaran itu sendiri. Ketika suatu ancaman muncul,
manusia memiliki sistem pertahanan diri (ego defense-mechanism), yaitu
represi, penyangkalan, dan proyeksi. Ancaman itu kemudian di represi
kedalam ketidaksadaran, disangkal keberadaannya, – walaupun disangkal
tetap saja ada – sehingga seseorang memproyeksikan kepada orang lain.
Hal ini menjelaskan mengapa timbul prasangka dan kebencian kepada
kelompok lain. Kebencian yang direpresi dan disangkal timbul dalam
bentuk baru sebagai mekanisme diri yaitu membenci orang lain, dan
menjadikan orang lain sebagai the devil yang sah-sah saja untuk dibenci,
untuk dimusuhi, atau lebih lagi untuk dimusnahkan. Seperti Hitler pada
holocaust atau dalam konflik antar etnis pada beberapa suku di Indonesia
yang menewaskan ribuan orang.
Untuk menyelesaikan mekanisme diri yang secara otomatis dilakukan
manusia ini, seseorang harus berani melihat kedalam shadow-nya. Hal ini
dikatakan sulit, karena didalam shadow tersimpan semua hal yang tidak
diinginkan, rasa malu, perasaan bersalah, rasa benci, dll. Namun, Jung
melanjutkan, seberapa sakitnya seseorang harus melihat kedalam
shadownya, hal tersebut sangat diperlukan. Karena didalam shadow
terletak banyak kekuatan psychic yang membantu manusia mencapai keutuhan
(wholeness).
Keutuhan terletak pada The Self (dengan kapital S), yaitu tujuan dari
eksistensi yang sudah tercetak didalam blue print genetis spesies
manusia. The Self mungkin serupa dengan konsep Brahma pada agama Hindu.
Makna hidup manusia yang paling dalam, suatu fungsi transenden. Tidak
heran kita bisa menemukan seni dan agama pada setiap kebudayaan
universal yang menandakan bahwa manusia mencoba mencari sosok tuhan –
yang sebenarnya sudah berada didalam dirinya sendiri (Self).
Jadi…
Sudahkah kamu mengatasi shadow-mu? Mungkin jika ada waktu untuk
merefleksikan, lihatlah kedalam diri. Jika kamu adalah orang yang cepat
marah, cepat benci, cepat prasangka, suka gosip yang ngejelekin orang,
uhmm dibandingkan ngurusin orang lain, prasangka yang engga-engga
terhadap out-group, akan lebih baik waktu yang berarti ini digunakan
untuk melihat kedalam dirimu sendiri. Sekalian turut menciptakan ‘a better world, full of peace’.
“The devil is in you. Do you want to cope it, or simply project
it over and over unto the never-ending cycle of prejudice to others? You
choose!” (Lora)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar